Beranda | Artikel
Hukum Gelar Khalifatullah
Rabu, 13 Mei 2015

Gelar Khalifatullah?

Bolehkah manusia bergelar khalifatullah? Mohon pencerahannya..

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Sebelumnya kita akan meluruskan arti kata khalifah, yang mungkin bagi sebagian orang dipahami berbeda dengan makna bahasanya.

Khalifah [خليفة] diambil dari kata khalafa – yakhlufu [خلف – يـخلف] yang artinya di belakang atau pengganti. Allah berfirman menyebutkan generasi pengganti umat manusia,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam: 59).

Allah menyebut pengganti dengan kata khalfun.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, dan kepemimpinan kaum muslimin digantikan Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu, beliau bergelar Khalifatu Rasulillah. Karena posisi beliau menggantikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memimpin kaum muslimin.

Dari sini kita bisa memahami, penguasa atau raja disebut khalifah, pengertian yang benar adalah pengganti, bukan pemimpin. Karena raja adalah manusia yang menggantikan kekuasaan dan posisi raja sebelumnya.

Dalam doa ketika safar, kita menyebut Allah sebagai al-Khalifah bagi keluarga kita.

اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ

Ya Allah, Engkau adalah teman selama safar dan al-Khalifah bagi keluarga… (HR. Muslim 3339, Abu Daud 2600, Turmudzi 3769, dan yang lainnya).

Ketika safar, kita meninggalkan keluarga. Dan kita bertawakkal, agar Allah yang menjaga mereka. Karena itulah, kita menyebut Allah sebagai al-Khalifah bagi keluarga. Kita pasrahkan keluarga kita kepada Allah.

Demikian pula disebutkan dalam hadis tentang Dajjal. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahaya Dajjal pada saat dia keluar,

إِنْ يَخْرُجْ وَأَنَا فِيكُمْ فَأَنَا حَجِيجُهُ دُونَكُمْ وَإِنْ يَخْرُجْ وَلَسْتُ فِيكُمْ فَامْرُؤٌ حَجِيجُ نَفْسِهِ وَاللَّهُ خَلِيفَتِى عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Jika Dajjal keluar dan saya ada di tengah kalian, maka saya yang akan berdebat dengan Dajjal untuk membela kalian. Dan jika dia keluar sementara saya tidak ada di tengah kalian (telah meninggal), maka masing-masing orang berusaha membela dirinya sendiri. Dan Allah menjadi khalifahku bagi seluruh umat islam. (HR. Ahmad , Muslim 7560, Abu Daud 4323 dan yang lainnya)

Dari dua hadis di atas, kita menyimpulkan bahwa khalifah berarti pengganti ketika orang yang digantikan tidak ada. Baik karena dia telah meninggal, atau pergi untuk sementara waktu.

Ar-Raghib al-Asfahani mengatakan,

والخلافة النيابة عن الغير إما لغيبة المنوب عنه وإما لموته وإما لعجزه وإما لتشريف المستخلف

Khilafah berarti menggantikan orang lain, baik karena yang digantikan sedang tidak ada, atau telah mati, atau tidak mampu melakukannya, atau karena kehormatan yang digantikan. (al-Mufradat, hlm. 156).

Makna Manusia sebagai Khalifah di muka bumi

Allah berfirman,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. al-Baqarah: 30).

Pertama yang perlu kita perhatikan bahwa Allah tidak mengatakan, ‘Aku akan menjadikan khalifahku di bumi’ atau ‘Khalifatullah di bumi’. Namun Allah hanya mengatakan, ‘hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Dan tafsir singkat untuk ayat ini, Allah menyampaikan kepada malaikat, bahwa Dia hendak menciptakan jenis makhluk di muka bumi. Kita semua bisa memahami dan sepakat bahwa jenis makhluk itu adalah manusia. Tidak hanya semata Adam, namun berikut seluruh keturunannya.

Ada banyak ayat dengan konteks yang berbeda, Allah menyebut manusia sebagai khalaif atau khulafa’ (bentuk jamak dari khalifah). Diantaranya,

Allah berfirman,

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ

Dia lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu beberapa derajat melebihi yang lain, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS. al-An’am: 165).

Allah juga berfirman,

وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ

Dan Dia menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi. (QS. an-Naml: 62).

Lalu apa makna ‘mansia menjadi khalifah di muka bumi’?

Kita simak penjelasan Ibnu Katsir,

أي: قوما يخلف بعضهم بعضا قرنا بعد قرن وجيلا بعد جيل

Firman Allah “Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” maksudnya adalah, Aku hendak menciptakan sebuah kaum yang satu gerenerasi dengan generasi lainnya, mereka saling mengganti.

Kemudian Ibnu Katsir mengkritisi pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud khalifah di sini adalah Adam. beliau mengatakan,

وليس المراد هاهنا بالخليفة آدم، عليه السلام، فقط، كما يقوله طائفة من المفسرين

Dan bukanlah maksud khalifah di sini adalah Adam ‘alaihis salam saja. Sebagaimana yang dinyatakan sebagaian ahli tafsir.

Ibnu Katsir beralasan bahwa jika itu hanya nabi Adam, tentu malaikat tidak akan mengatakan, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.’

Karena tidak mungkin untuk bisa sampai menumpahkan darah dan berbuat kerusakan hanya dilakukan Adam. Dan tidak mungkin dilakukan beliau, karena beliau seorang nabi.

Ada juga yang mengatakan bahwa manusia disebut khalifah, karena manusia menggantikan makhluk yang menempati bumi sebelum mereka. Makhluk itu adalah jin. Setelah jin terusir dari bumi, Allah gantikan dengan Adam dan anak keturunannya. (Zadul Masir, 1/41) .

Makna Khalifatullah

Sebelum lebih membahas lebih jauh tentang hukum menggunakan gelar khalifatullah untuk manusia, kita akan pahami dulu arti dari khalifatullah.

Kata ini merupakan frase. Gabungan dari dua kata: khalifah dan Allah. Dalam ilmu aqidah diistilahkan dengan, ‘ma udhifa ilallah’ kata yang disandarkan kepada Allah.

Ada beberapa makna untuk kata yang disandarkan kepada Allah. Diantaranya,

  1. Menunjukkan sifat Allah. Seperti Kalamullah (firman Allah), atau Rahmatullah (rahmat Allah), dst.
  2. Menunjukkan pemuliaan terhadap nama makhluk. Misalnya Baitullah (rumah Allah). Karena masjid merupakan bangunan istimewa di muka bumi ini. Rasulullah (utusan Allah), manusia paling istimewa di dunia. Dalam al-Quran, Allah menyebut ontanya Nabi Soleh dengan Naqatullah (onta Allah).
  3. Menunjukkan penghinaan. Misalnya, Aduwullah (musuh Allah).

(al-Mausu’ah al-Aqdiyah, ad-Durar as-Saniyah, 2/37).

Dari ketiga jenis itu, khalifatullah masuk jenis kedua. Makhluk yang disandarkan kepada Allah kerena dimuliakan.

Tentang makna Khalifatullah, ada beberapa kemungkinan makna untuk ini.

Pertama, khalifatullah diartikan sebagaimana makna bahasanya, khalifatullah berarti menggantikan Allah. Menggantikan Allah dalam mengatur alam semesta. Ini jelas makna yang bathil. Bahkan Syaikhul Islam menyebutnya sebagai kesyirikan. Beliau mengatakan,

(وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إلَهٌ) ولا يجوز أن يكون أحد خلفا منه، ولا يقوم مقامه؛ لأنه لا سمي له، ولا كفء له. فمن جعل له خليفة فهو مشرك به

Allah berfirman, “Dialah Dzat yang disembah di langit dan disembah di bumi.” Tidak mungkin ada satupun yang menjadi pengganti darinya. dan tidak boleh menggantikan posisi-Nya. Karena tidak ada yang semisal dengan-Nya atau yang sekufu dengan-Nya. Siapa yang menjadikan khalifah untuk-Nya berarti dia berbuat syirik. (Majmu’ Fatawa, 35/45).

Kedua, khalifatullah diartikan sebagai khalifah ‘an Allah [خليفة عن الله]. Dalam arti, mereka adalah makhluk yang ditunjuk oleh Allah untuk menerapkan setiap aturan dan ketetapan Allah di muka bumi.

Ilustrasinya, bahwa Allah berkehendak menetapkan hukum dan aturan untuk diberlakukan di bumi. Untuk menerapkan aturan itu, Allah tunjuk beberapa makhluk yang soleh..

Ibnu Jarir menjelaskan tafsir surat al-Baqarah di atas,

فكان تأويل الآية على أني جاعل في الأرض خليفة مني يخلفني في الحكم بالعدل بين خلقه وأن ذلك الخليفة هو آدم ومن قام مقامه في طاعة الله والحكم بالعدل بين خلقه

Tafsir ayat, bahwa Aku akan menjadikan khalifah dari-Ku, yang bertugas menerapkan hukum-Ku dengan keadilan diantara makhluk. Dan bahwa khalifah itu Adam dan orang-orang yang mentaati Allah menggantikan setelah Adam, serta menerapkan hukum dengan adil diantara makhluk-Nya. (Tafsir at-Thabari, 1/459).

Keterangan lain disampaikan oleh Ibnul Jauzi dalam tafsirnya,

وفي معنى خلافة آدم قولان أحدهما: أنه خليفة عن الله تعالى في إقامة شرعه و دلائل توحيده، والحكم في خلقه

Mengenai makna status Adam sebagai khalifah, ada dua pendapat ulama. Diantaranya, bahwa Adam adalah khalifah dari Allah dalam menegakkan syariat-Nya, petunjuk dalam mentauhidkan-Nya, dan menerapkan hukum untuk makhluk-Nya. (Zadul Masir, 1/41).

Ketiga, khalifatulah diartikan sebagai khalifah (pengganti) yang Allah ciptakan untuk menggantikan generasi sebelumnya.

Ibnul Qoyim menjelaskan

ان اريد بالاضافة ان الله استخلفه عن غيره ممن كان قله قبله فهذا لا يمتنع فيه الاضافة وحقيقتها خليفة الله الذي جعله الله خلفا عن غيره

Jika maksud disandarkan kepada Allah, bahwa Allah menunjuknya untuk menjadi pengganti bagi generasi sebelumnya, maka tidak masalah menggunakan istilah khalifatullah. Namun hakekat maknanya adalah khalifah Allah, yang Allah ciptakan sebagai pengganti bagi yang lainnya. (Miftah Dar as-Sa’adah, 1/152)

Hukum Gelar Khalifatullah

Dari pemaparan di atas, ulama berbeda pendapat tentang hukum menggunakan gelar khalifatullah bagi manusia.

Setidaknya ada 2 pendapat dalam menjelaskan hal ini.

an-Nawawi mengatakan,

واختلفوا في جواز قولنا خليفة الله، فجوّزه بعضُهم لقيامه بحقوقه في خلقه، ولقوله تعالى: (هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ في الأرْضِ) [فاطر: 39] وامتنع جمهورُ العلماء من ذلك، ونسبُوا قائلَه إلى الفجور، هذا كلام الماوردي

Ulama berbeda pendapat tentang hukum menggunakan istilah khalifatullah. Sebagian ulama berpendapat boleh, karena dia telah menegakkan hak-hak di kalangan makhluk-Nya. Dan mengingat firman Allah, (yang artinya), “Dialah Dzat yang menjadikan kalian khalifah-khalifah di bumi.” (QS. Fathir: 39). Sementara mayoritas ulama melarangnya. Dan bahkan menganggap orang yang menggunakan kalimat ini telah melakukan pelanggaran. Demikian keterangan al-Mawardi. (al-Adzkar, hlm. 361).

Kita akan menyebutkan rincian pendapat itu,

Pertama, boleh menggunakan gelar ini untuk manusia. Dengan makna kedua atau makna ketiga sebagaimana keterangan di atas.

Diantara dalil yang mendukung pendapat ini adalah penjelasan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang berilmu dan semua karakternya. Ali Radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

فباشروا روح اليقين، واستسهلوا ما استوعر منه المترفون، وانسوا بما استوحش منه الجاهلون صحبوا الدنيا بأبدان أرواحها معلقة بالنظر الأعلى يا كميل أولئك خلفاء الله في أرضه الدعاة إلى دينه

Mereka bercampur dengan semangat yakin, menganggap ringan apa yang dikhawatirkan orang-orang yang hidup mewah, melupakan apa yang ditakutkan orang bodoh. Mereka tinggal di dunia dengan badannya, namun ruhnya bergantung pada cita-cita yang sangat tinggi. Wahai Kumail, merekalah para khalifatullah di bumi-Nya. Para dai penyeru kepada agama-Nya. (Kanzul Ummal, 29391).

Demikian pula disebutkan dalam hadis tentang Imam Mahdi, dari Tsauban.

إذا رأيتم الرايات السود قد جاءت من قبل خراسان فأتوها، فإن فيها خليفة الله المهدي

Jika kalian melihat ada bendera hitam telah datang dari arah Khurasan (timur), datangilah dia. Karena di sana ada khalifatullah al-Mahdi.

Hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad dan al-Bazzar dalam Musnadnya. Hanya saja statusnya dhaif sebagaimana keterangan Syuaib al-Arnauth.

Kedua, melarang secara mutlak

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Mereka berdalil dengan penolakan Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu ketika dipanggil Khalifatullah.

Ibnu Abi Mulaikah – ulama tabiin – menceritakan,

قيل لأبي بكر : يا خليفة الله قال : لست بخليفة الله ولكن خليفة محمد صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم وأنا راض بذلك

Abu Bakr dipanggil, ‘Wahai Khalifatullah.’ Langsung Abu Bakr menanggapi,

“Saya bukan khalifatullah. Namun saya adalah khalifah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan saya rela untuk dipanggil seperti itu.” (HR. Ahmad 59).

An-Nawawi membawakan riwayat, bahwa ada seseorang memanggil Khalifah Umar bin Abdul Aziz,

‘Wahai Khalifatullah’. Mendengar ini, Umar mengatakan,

ويلَك لقد تناولتَ تناولاً بعيداً، إن أُمّي سمّتني عمر، فلو دعوتني بهذا الاسم قبلتُ، ثم كَبِرتُ فكُنِّيتُ أبا حفص، فلو دعوتني به قبلتُ، ثم وليتموني أمورَكم فسمَّيتُوني أمَير المؤمنين، فلو دعوتني بذاك كفاك

Kamu ini bagaimana. Kamu telah melakukan tindakan berlebihan. Ibuku menamaiku dengan Umar. Jika anda memanggilku dengan nama ini, aku akan menerimanya. Setelah aku besar, aku diberi kunyah Abu Hafsh. Jika kamu memanggilku dengan kunyah ini, aku bisa menerimanya. Kemudian kalian mengangkatku sebagai pemimpin, lalu kalian memanggilku Amirul Mukminin. Jika kamu memanggilku dengan panggilan ini, itu sudah cukup bagimu. (al-Adzkar, hlm. 361)

Disamping itu, namanya khalifah artinya adalah pengganti. Sementara khalifah hanya digunakan untuk menyebut pengganti, di saat yang digantikan tidak ada atau telah meninggal. Dan Maha Suci Allah jika ada diantara makhluk-Nya yang menggantikan-Nya.

(Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyah, 8/6).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/24818-hukum-gelar-khalifatullah.html